Ikhlas ialah melakukan suatu perbuatan semata-mata
mencari keridhaan Allah swt, tanpa dicampuri dengan tujuan dunia. Tanpa
dicampuri urusan dunia memiliki banyak konotasi, diantaranya yaitu: keuntungan,
pangkat, harta, kemasyhuran, kedudukan tinggi di kalangan manusia, meminta
pujian, mengikut hawa nafsu yang tersembunyi atau lain-lain.
Dr.
Yusuf al-Qaradhawi dalam Fit-Thariq Ilallah: An-Niyyah wal-Ikhlas,
menjelaskan tanda-tanda ikhlas sebagai berikut : (1) Takut
kemasyhuran dan menyebarnya kemasyhuran ke atas dirinya, lebih-lebih lagi jika
dia termasuk orang yg mempunyai pangkat tertentu; (2) Sentiasa menuduh diri sendiri
sebagai orang yg berlebih-lebihan di sisi Allah dan kurang dalam melaksanakan
berbagai kewajiban, tdk mampu menguasai hatinya karena terpedaya oleh suatu
amal dan takjub pada dirinya sendiri. Malahan dia sentiasa takut andaikata
keburukan-keburukannya tdk diampunkan dan takut kebaikan-kebaikannya tdk
diterima; (3) Beramal secara
diam-diam lebih disukai daripada amal yg dilakukan secara terang-terangan; (4) Tidak memerlukan pujian dan tidak
tenggelam oleh pujian; (5) Tidak
pelit memberikan pujian kepada orang lain yang memang layak dipuji dan
menyanjung orang yang memang layak disanjung. (6) Berbuat selayaknya ketika menjadi pemimpin dalam jabatan
penting.; (7) Mencari keridhaan
Allah swt, bukan keridhaan manusia; (8)
Tidak bersifat malas
Allah SWT berjanji dalam firmannya
QS. Al-Baqarah: 261, Barang siapa mensedekahkan hartanya di jalan Allah,
dengan keikhlasan, Allah akan membalasnya 700 kali lipat, bahkan akan berlipat ganda dari itu. Berdasarkan ayat tadi secara logika jika
kita bersedekah Rp. 1000, maka kita akan dibalas Rp.700.000 dan bahkan lebih dari itu.
Purdie E Chandra seorang Presdir
Primagama Group sekaligus Mentor Enterpreneur University bercerita, “ suatu
hari, salah seorang muridnya di Enterpreneur University cabang Surabaya hendak
bertemu mitra bisnisnya di Batam. Saat di bandara Soekarno Hatta,
mendadak ia kebelet pipis, setelah menuntaskan hajatnya, ia terpikir
untuk mencoba mempraktekkan saran saya, berilah sedekah di luar kewajaran.
Nekat, dia beri 3 orang penjaga WC umum di Cengkareng masing-masing Rp. 500
ribu. Mereka pun terperanjat. “ Pak, baru kali ini, lho, ada orang ke kamar
kecil memberi 500 ribu, buat kita bertiga lagi. “ Murid saya dengan
cengar-cengir membalas, “ Saya juga baru pertama kali, member penjaga WC sampai
Rp. 1,5 juta. He..he..he, saya mau bahas tender bisnis, doakan sukses, ya pak,
“ pinta murid saya.sungguh mustajab, sepulang dari Batam, murid saya itu
mengabarkan kepada saya bahwa dia sudah mengantongi kontrak proyek miliaran
rupiah, artinya, janji Tuhan bukan hanya 700 kali lipat tetapi ribuan kali
lipat”, dikutip dari Erbe Sentanu(2006) dalam bukunya “The Science &
Miracle of Zona Ikhlas “
Kenyataannya, sulit bagi kita untuk
memberikan sesuatu dengan ikhlas walaupun sedikit karena faktor-faktor ekonomi,
persiapan untuk pengeluaran yang tidak bisa diprediksi dan sifatnya mendadak.
Sangat ironis memang, kita masih belum percaya dengan apa yang dijanjikan oleh
Allah. Padahal janji Allah pasti benar.
Perlu diingat bahwa Allah tidak
pernah langsung mengabulkan do’a kita sehingga apa yang kita sedekahkan
hasilnya tidak langsung instan, tetapi ada prosesnya yaitu: seketika, bertahap,
ditunda.
Memang, tidak mudah melaksanakan
ikhlas, sehingga diperlukan banyak latihan. Puri E. Chandra bahkan menyarankan
agar selalu berlatih dengan mengesampingkan pola pikir rasional atau
menggunakan rasio otak kiri, yang selalu menggunakan dalil” memberi apa, dapat
apa.
Tapi, lanjut beliau, latihlah dengan
menggunakan energi otak kanan dengan memberikan sesuatu diluar kewajaran. Maka,
sesuai janji Tuhan, akan kita dapatkan gantinya dengan nilai diluar kewajaran
pula.
Dikisahkan
ada seorang laki-laki bernama Abu Nashr as-Shayyad, ia hidup bersama dengan
seorang isteri dan seorang putera. Mereka hidup dalam kondisi yang sangat faqir.
Suatu saat ia keluar dari rumah berjalan dengan lunglai memikirkan bagaimana
mencari makan untuk isteri dan anaknya yang menangis kelaparan dirumah. Lalu ia
lewat dihadapan salah seorang ulama – yaitu Ahmad ibn Miskin- dan berkata
:”Sesungguhnya aku dalam kesusahan wahai syaikh. Maka sang alim
berkata : “Mari ikuti aku ke tepi laut”. Maka keduanya pun menuju laut,
setibanya disana sang Alim tadi berkata : “Sholatlah dua raka’at!”, maka ia pun
sholat. Lalu berkata lagi : “Ucapkan bismillah dan lemparkanlah jaring ini!”.
Kemudian Abu Nashr as-Shayyad menuruti kata sang Alim tadi, dan ketika ditarik
ternyata ia mendapatkan ikan yang sangat besar. Berkatalah sang Alim : “Juallah
ikan ini, dan belikan makanan untuk anak dan isterimu dirumah!”. Maka iapun
menjual ikan dan membeli dua buah fathirah (roti isi) yang berisikan
daging dan yang lain berisi manisan. Sebagai bentuk rasa terima kasihnya ia
mendatangi sang Alim untuk memberikannya salah satu dari roti tersebut. Maka
ketika bertemau sang Alim berkata : “Seandainya kita hanya memberi makan untuk
diri sendiri niscaya ikan tersebut tidak akan keluar”. Kemudian sang Alim
mengembalikan roti tersebut seraya berkata: “Ambillah dan berikan untuk dirimu
dan keluargamu!”. Di jalan menuju rumahnya, Abu Nashr as-Shayyad berpapasan
dengan seorang ibu yang menangis kelaparan dan bersamanya seorang anak kecil,
kedua melihat roti yang ada di tangan Abu Nashr as-Shayyad. Melihat hal
tersebut Abu Nashr as-Shayyad berkata kepada dirinya : “Wanita ini seperti
isteri dan anakku yang kesakitan menahan lapar, kepada siapakah kuberikan roti
ini?” dan demi melihat kedua mata wanita tersebut ia tak kuasa menahan diri dan
akhirnya ia menyerahkan kedua roti tersebut dan berkata :”Ambillah dua buah
roti ini!”. Maka bersinarlah wajah wanita tersebut dan tersenyum pula anak
disampingnya. Lalu kembalilah Abu Nashr as-Shayyad dengan tangan hampa lagi
bingung, bagaimana ia memberikan makan untuk anak dan isterinya dirumah.
Setibanya di sebuah pasar ada seorang bapak yang berseru : “Siapakah gerangan
yang bisa menunjukkanku kepada Abu Nashr as-Shayyad?” maka orang di pasar
menunjukkannya kepada Abu Nashr as-Shayyad. Lalu sang bapak tadi berkata :
“sesungguhnya Ayahandamu telah meminjamkan kepadaku uang 20 tahun yang lalu,
kemudian ia wafat dan aku belum mencari tahunya, maka ambillah 30 ribu dirham
milik ayahandamu ini!”. Setelah menerima uang tersebut Abu Nashr menjadi orang
yang paling kaya, memiliki rumah yang banyak, perniagaan yang sukses, harta
yang melimpah, dan bisa bershodaqoh ribuan dirham sekali bershodaqoh atas rasa
syukurnya kepada Alloh. Kemudian ia bangga akan banyaknya bershodaqoh. Suatu
malam ia bermimpi bahwa Mizan timbangan amal telah ditegakkan. Lalu
berserulah seseorang :”Abu Nashr as-Shayyad kemari timbang amal kebaikan dan
keburukanmu!”. Setelah di timbang ternyata timbangan keburukan lebih berat dari
timbangan kebaikannya. Maka ia berkata :”Kemana harta yang dulu aku
shodaqohkan?”. Maka harta-harta itupun diletakkan. Ternyata disetiap keping
dirhamnya terdapat hawa nafsu dan kebanggaan terhadap diri. Seakan-akan harta
tersebut seperti gulungan-gulungan kapas yang tak dapat menggerakkan timbangan
kebaikannya sedikitpun. Maka ia menangis dan berkata :”Dimana keselamatan?”
lalu seseorang berseru : “Apakah ia memiliki sesuatu?”. Maka malaikatpun
menjawab : “Ya, dia masih memiliki dua buah roti isi”. Maka diletakkan dua buah
roti isi tersebut di daun timbangan, maka mulai secara perlahan timbangan
kebaikannya bergerak turun hingga sejajar dengan daun timbangan keburukan. Maka
Abu Nashr menjadi khawatir karena belum jelas keputusannya. Lalu seserorang
berseru lagi :”Apakah ia masih memiliki yang lain?”, malaikatpun menjawab :
“Ya, dia masih memiliki sesuatu”,maka Abu Nashr berkata :”Apakah itu”. Maka
dikatakan kepadanya : “ Air mata wanita yang engkau beri roti isi
tersebut.” Maka tiba-tiba air mata tersebut menjadi batu dan memberatkan
timbangannya. Maka iapun senang. Lalu seseorang berseru kembali : “Apakah ia
masih memiliki yang lain?”, “Ya, senyum anak kecil saat engkau beri roti isi
dulu”. Sehingga daun timbanganpun semakin berat mengalahkan timbangan
keburukan. Lalu seseorang berkata : “Sungguh telah selamat, sungguh telah
selamat”. Maka iapun terbangun dari mimpinyaseraya berkata : “Seandainya kita
hanya memberi makan diri kita sendiri maka ikan pun tidak akan keluar”. (Dikutip dari http://abufahmiabdullah.wordpress.com/2010/10/23/kisah-seorang-nelayan-dan-seekor-ikan/).
Berdasarkan fenomena di atas, kita
selaku hamba yang mengaku bersyukur atas apa yang diberikan Allah hendaknya
mencoba berlatih ikhlas, dimulai dengan memberikan sesuatu yang mudah
dilakukan tapi dengan syarat diluar kewajaran. Hal yang paling mudah dilakukan
oleh kita sesuai dengan keahliannya masing-masing, misalnya guru dengan
mensedekahkan ilmu. Biasanya guru memberikan les tambahan pelajaran dengan
biaya tertentu per orang, tapi sekarang dilaksanakan tanpa imbalan atau gratis.
Akhirnya, penulis sarankan jadilah
seorang guru, petani, nelayan dan semua yang memiliki profesi yang
bermacam-macam untuk memberikan sesuatu dengan benar-benar ikhlas, yaitu sosok
yang memberikan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan apapun selain keridhaan
Allah dan tanpa disertai dengan hawa nafsu.