Kamis, 12 Januari 2012

KEKUATAN IKHLAS


Ikhlas ialah melakukan suatu perbuatan semata-mata mencari keridhaan Allah swt, tanpa dicampuri dengan tujuan dunia. Tanpa dicampuri urusan dunia memiliki banyak konotasi, diantaranya yaitu: keuntungan, pangkat, harta, kemasyhuran, kedudukan tinggi di kalangan manusia, meminta pujian, mengikut hawa nafsu yang tersembunyi atau lain-lain.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi  dalam Fit-Thariq Ilallah: An-Niyyah wal-Ikhlas, menjelaskan tanda-tanda ikhlas sebagai berikut : (1) Takut kemasyhuran dan menyebarnya kemasyhuran ke atas dirinya, lebih-lebih lagi jika dia termasuk orang yg mempunyai pangkat tertentu; (2) Sentiasa menuduh diri sendiri sebagai orang yg berlebih-lebihan di sisi Allah dan kurang dalam melaksanakan berbagai kewajiban, tdk mampu menguasai hatinya karena terpedaya oleh suatu amal dan takjub pada dirinya sendiri. Malahan dia sentiasa takut andaikata keburukan-keburukannya tdk diampunkan dan takut kebaikan-kebaikannya tdk diterima; (3) Beramal secara diam-diam lebih disukai daripada amal yg dilakukan secara terang-terangan; (4) Tidak memerlukan pujian dan tidak tenggelam oleh pujian; (5) Tidak pelit memberikan pujian kepada orang lain yang memang layak dipuji dan menyanjung orang yang memang layak disanjung. (6) Berbuat selayaknya ketika menjadi pemimpin dalam jabatan penting.; (7) Mencari keridhaan Allah swt, bukan keridhaan manusia; (8) Tidak bersifat malas
Allah SWT berjanji dalam firmannya QS. Al-Baqarah: 261, Barang siapa mensedekahkan hartanya di jalan Allah, dengan keikhlasan, Allah akan membalasnya 700 kali lipat, bahkan akan berlipat ganda dari itu. Berdasarkan ayat tadi secara logika jika kita bersedekah Rp. 1000, maka kita akan dibalas Rp.700.000 dan bahkan lebih dari itu.
Purdie E Chandra seorang Presdir Primagama Group sekaligus Mentor Enterpreneur University bercerita, “ suatu hari, salah seorang muridnya di Enterpreneur University cabang Surabaya hendak bertemu mitra bisnisnya di Batam. Saat di bandara Soekarno Hatta, mendadak  ia kebelet pipis, setelah menuntaskan hajatnya, ia terpikir untuk mencoba mempraktekkan saran saya, berilah sedekah di luar kewajaran. Nekat, dia beri 3 orang penjaga WC umum di Cengkareng masing-masing Rp. 500 ribu. Mereka pun terperanjat. “ Pak, baru kali ini, lho, ada orang ke kamar kecil memberi 500 ribu, buat kita bertiga lagi. “ Murid saya dengan cengar-cengir membalas, “ Saya juga baru pertama kali, member penjaga WC sampai Rp. 1,5 juta. He..he..he, saya mau bahas tender bisnis, doakan sukses, ya pak, “ pinta murid saya.sungguh mustajab, sepulang dari Batam, murid saya itu mengabarkan kepada saya bahwa dia sudah mengantongi kontrak proyek miliaran rupiah, artinya, janji Tuhan bukan hanya 700 kali lipat tetapi ribuan kali lipat”, dikutip dari Erbe Sentanu(2006) dalam bukunya “The Science  & Miracle of Zona Ikhlas “   
Kenyataannya, sulit bagi kita untuk memberikan sesuatu dengan ikhlas walaupun sedikit karena faktor-faktor ekonomi, persiapan untuk pengeluaran yang tidak bisa diprediksi dan sifatnya mendadak. Sangat ironis memang, kita masih belum percaya dengan apa yang dijanjikan oleh Allah. Padahal janji Allah pasti benar.
Perlu diingat bahwa Allah tidak pernah langsung mengabulkan do’a kita sehingga apa yang kita sedekahkan hasilnya tidak langsung instan, tetapi ada prosesnya yaitu: seketika, bertahap, ditunda.
Memang, tidak mudah melaksanakan ikhlas, sehingga diperlukan banyak latihan. Puri E. Chandra bahkan menyarankan agar selalu berlatih dengan mengesampingkan pola pikir rasional atau menggunakan rasio otak kiri, yang selalu menggunakan dalil” memberi apa, dapat apa.
Tapi, lanjut beliau, latihlah dengan menggunakan energi otak kanan dengan memberikan sesuatu diluar kewajaran. Maka, sesuai janji Tuhan, akan kita dapatkan gantinya dengan nilai diluar kewajaran pula.
Dikisahkan ada seorang laki-laki bernama Abu Nashr as-Shayyad, ia hidup bersama dengan seorang isteri dan seorang putera. Mereka hidup dalam kondisi yang sangat faqir. Suatu saat ia keluar dari rumah berjalan dengan lunglai memikirkan bagaimana mencari makan untuk isteri dan anaknya yang menangis kelaparan dirumah. Lalu ia lewat dihadapan salah seorang ulama – yaitu Ahmad ibn Miskin- dan berkata :”Sesungguhnya aku dalam kesusahan wahai syaikh. Maka sang alim berkata : “Mari ikuti aku ke tepi laut”.  Maka keduanya pun menuju laut, setibanya disana sang Alim tadi berkata : “Sholatlah dua raka’at!”, maka ia pun sholat. Lalu berkata lagi : “Ucapkan bismillah dan lemparkanlah jaring ini!”. Kemudian Abu Nashr as-Shayyad menuruti kata sang Alim tadi, dan ketika ditarik ternyata ia mendapatkan ikan yang sangat besar. Berkatalah sang Alim : “Juallah ikan ini, dan belikan makanan untuk anak dan isterimu dirumah!”. Maka iapun menjual ikan dan membeli dua buah fathirah (roti isi) yang berisikan daging dan yang lain berisi manisan. Sebagai bentuk rasa terima kasihnya ia mendatangi sang Alim untuk memberikannya salah satu dari roti tersebut. Maka ketika bertemau sang Alim berkata : “Seandainya kita hanya memberi makan untuk diri sendiri niscaya ikan tersebut tidak akan keluar”. Kemudian sang Alim mengembalikan roti tersebut seraya berkata: “Ambillah dan berikan untuk dirimu dan keluargamu!”. Di jalan menuju rumahnya, Abu Nashr as-Shayyad berpapasan dengan seorang ibu yang menangis kelaparan dan bersamanya seorang anak kecil, kedua melihat roti yang ada di tangan Abu Nashr as-Shayyad. Melihat hal tersebut Abu Nashr as-Shayyad berkata kepada dirinya : “Wanita ini seperti isteri dan anakku yang kesakitan menahan lapar, kepada siapakah kuberikan roti ini?” dan demi melihat kedua mata wanita tersebut ia tak kuasa menahan diri dan akhirnya ia menyerahkan kedua roti tersebut dan berkata :”Ambillah dua buah roti ini!”. Maka bersinarlah wajah wanita tersebut dan tersenyum pula anak disampingnya. Lalu kembalilah Abu Nashr as-Shayyad dengan tangan hampa lagi bingung, bagaimana ia memberikan makan untuk anak dan isterinya dirumah. Setibanya di sebuah pasar ada seorang bapak yang berseru : “Siapakah gerangan yang bisa menunjukkanku kepada Abu Nashr as-Shayyad?” maka orang di pasar menunjukkannya kepada Abu Nashr as-Shayyad. Lalu sang bapak tadi berkata : “sesungguhnya Ayahandamu telah meminjamkan kepadaku uang 20 tahun yang lalu, kemudian ia wafat dan aku belum mencari tahunya, maka ambillah 30 ribu dirham milik ayahandamu ini!”. Setelah menerima uang tersebut Abu Nashr menjadi orang yang paling kaya, memiliki rumah yang banyak, perniagaan yang sukses, harta yang melimpah, dan bisa bershodaqoh ribuan dirham sekali bershodaqoh atas rasa syukurnya kepada Alloh. Kemudian ia bangga akan banyaknya bershodaqoh. Suatu malam ia bermimpi bahwa Mizan timbangan amal telah ditegakkan. Lalu berserulah seseorang :”Abu Nashr as-Shayyad kemari timbang amal kebaikan dan keburukanmu!”. Setelah di timbang ternyata timbangan keburukan lebih berat dari timbangan kebaikannya. Maka ia berkata :”Kemana harta yang dulu aku shodaqohkan?”. Maka harta-harta itupun diletakkan. Ternyata disetiap keping dirhamnya terdapat hawa nafsu dan kebanggaan terhadap diri. Seakan-akan harta tersebut seperti gulungan-gulungan kapas yang tak dapat menggerakkan timbangan kebaikannya sedikitpun. Maka ia menangis dan berkata :”Dimana keselamatan?” lalu seseorang berseru : “Apakah ia memiliki sesuatu?”. Maka malaikatpun menjawab : “Ya, dia masih memiliki dua buah roti isi”. Maka diletakkan dua buah roti isi tersebut di daun timbangan, maka mulai secara perlahan timbangan kebaikannya bergerak turun hingga sejajar dengan daun timbangan keburukan. Maka Abu Nashr menjadi khawatir karena belum jelas keputusannya. Lalu seserorang berseru lagi :”Apakah ia masih memiliki yang lain?”, malaikatpun menjawab : “Ya, dia masih memiliki sesuatu”,maka Abu Nashr berkata :”Apakah itu”. Maka dikatakan kepadanya  : “ Air mata wanita yang engkau beri roti isi tersebut.” Maka tiba-tiba air mata tersebut menjadi batu dan memberatkan timbangannya. Maka iapun senang. Lalu seseorang berseru kembali : “Apakah ia masih memiliki yang lain?”, “Ya, senyum anak kecil saat engkau beri roti isi dulu”. Sehingga daun timbanganpun semakin berat mengalahkan timbangan keburukan. Lalu seseorang berkata : “Sungguh telah selamat, sungguh telah selamat”. Maka iapun terbangun dari mimpinyaseraya berkata : “Seandainya kita hanya memberi makan diri kita sendiri maka ikan pun tidak akan keluar”. (Dikutip dari http://abufahmiabdullah.wordpress.com/2010/10/23/kisah-seorang-nelayan-dan-seekor-ikan/).
Berdasarkan fenomena di atas, kita selaku hamba yang mengaku bersyukur atas apa yang diberikan Allah hendaknya mencoba berlatih ikhlas,  dimulai dengan memberikan sesuatu yang mudah dilakukan tapi dengan syarat diluar kewajaran. Hal yang paling mudah dilakukan oleh kita sesuai dengan keahliannya masing-masing, misalnya guru dengan mensedekahkan ilmu. Biasanya guru memberikan les tambahan pelajaran dengan biaya tertentu per orang, tapi sekarang dilaksanakan tanpa imbalan atau gratis.
Akhirnya, penulis sarankan jadilah seorang guru, petani, nelayan dan semua yang memiliki profesi yang bermacam-macam untuk memberikan sesuatu dengan benar-benar ikhlas, yaitu sosok yang memberikan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan apapun selain keridhaan Allah dan tanpa disertai dengan hawa nafsu.

Blogroll


Blogger templates